TIMES AMBON, MALANG – Kamu mau jadi apa adalah pernyataan yang acap kali didengar terutama pada saat kita masih kecil. Kamu mau jadi apa diutarakan sebagai basa basi, harapan dan perhatian. Lambat laun, pertanyaan itu menjelma sebagai pernyataan yang mengusik seiring bertambahnya usia. Pertanyaan itu seolah menjadi tekanan sosial bagi sebagian orang.
Bagaimana tidak, beberapa sisi dari hidup dibentuk seolah menjadi kompetisi. Padahal semua sejatinya tergantung pada preferensi pribadi. Meski tidak bisa dipungkiri beberapa pertanyaan selaras dengan goals orang yang ditanyakan. Hanya saja tidak semua orang yang ditanya berada pada kondisi yang diharapkan.
Dari realitas sosial ini kita dapat menyimpulkan beberapa poin. Pertama, masyarakat secara tidak langsung membentuk klasifikasi sosial. Kedua, masyarakat tidak menjamin kesehatan dan kemerdekaan psikis bagi sesamanya. Ketiga, situasi ini dibentuk bahkan sejak seseorang lahir hingga ia menapaki kedewasaan. Singkatnya, lingkungan sosial hari ini kekurangan SDM untuk membatasi diri pada ranah privat satu sama lain.
Ada beberapa faktor yang dapat dianalisis sebagai penyebab situasi tersebut. Pertama, globalisasi melalui jaringan komunikasi yang tidak edukatif. Sajian konten baik tontonan maupun bacaan di new media condong bersifat intertain. Beberapa muatannya antara lain isu rumah tangga artis, gaya hidup mewah, profesi impian, jenis makanan, dan sebagainya.
Dalam sebuah Jurnal Ilmu Komunikasi Alamtara, dijelaskan bahwa keberadaan new media berdampak pada kualitas interaksi massa. New media berperan aktif dalam proses berpikir dan berperilaku seseorang. New media tidak bertanggung jawab secara utuh terkait nilai yang disampaikan. Sehingga disimpulkan, tontonan dan bacaan yang disebutkan di atas seketika dipandang sebagai tolok ukur kebahagiaan dan kesejahteraan seseorang.
Kedua ialah salah kaprah tentang kebebasan berekspresi. Kebiasaan menaruh perhatian lebih pada ranah privat orang lain nyatanya telah menjadi kebiasaan masyarakat sejak dulu. Kebiasaan ini tidak jarang dipandang sebagai hak dalam memperoleh kesenangan. Dalam istilah sederhana, perhatian berubah nama menjadi gosip.
Pertanyaan “kamu mau menjadi apa” seketika berubah menjadi “si fulan kok belum jadi apa-apa”. Gosip berkembang di lingkungan masyarakat dalam interaksi sehari hari maupun melalui platform media sosial. Meskipun, tertulis di beberapa jurnal psikologi seperti Pitutur bahwa gosip adalah bagian dari kontrol sosial.
Mari kita telisik beberapa siklus pelanggaran hak privat seseorang. Saat seorang bayi lahir, ia akan dihadapkan dengan harapan menempati profesi tertentu. Semakin bertambah usianya, akan ditanyakan kemampuannya merangkak, berjalan, lalu berbicara. Selanjutnya, ia akan ditanyakan tentang sekolah, kemampuan membaca dan menghitung, lalu nilai hasil studinya.
Berikutnya akan hadir pertanyaan seputar sekolah atau kampus favorit, pekerjaan, jumlah gaji, menikah, dan seterusnya. Sepanjang pertanyaan itu muncul, akan ada perbandingan-perbandingan antara pihak satu dengan yang lainnya. Pertanyaan yang jawabannya tidak sesuai dengan ekspektasi adalah alasan gosip terjadi. Bahkan tidak jarang situasi ini memicu stres atau perubahan sosial secara kompleks.
Ada yang bunuh diri akibat tugas akhir kuliah. Ada yang berlaku korupsi untuk memenuhi gengsi. Ada yang berlaku kriminal karena tak tahan digunjingi. Bahkan ada pula yang telah mapan namun tidak tenang karena merasa tidak cukup tampan.
Segala gangguan ini adalah ketidakterdidikan yang diamini sendiri. Maka patut disyukuri ekosistem pendidikan di Indonesia mulai terbenahi. Pasalnya, sisi ini merupakan penentu karakter bangsa. Merdeka Belajar hari ini condong pada keleluasaan berekspresi dalam koridor nilai luhur.
Beberapa di antara kebijakannya adalah larangan sistem rangking di kelas. Penghapus embel-embel sekolah favorit. Penyediaan beasiswa-beasiswa. Penyertaan keluarga dan masyarakat dalam proses belajar. Pemanfaatan new media sebagai platform belajar mengajar.
Penghapusan Ujian Nasional juga menjadi satu di antara yang mengurangi beban psikis masyarakat. Meskipun tentunya beberapa bagian harus tetap diperhatikan. Misalnya peningkatan kualitas guru dan persebarannya di setiap sekolah yang masih perlu ditingkatkan. Guru-guru tidak hanya diperlukan di sekolah namun juga ditengah-tengah masyarakat. Sehingga terbentuklah edukasi yang komprehensif.
Dengan begitu perhatian tetaplah perhatian. Lingkungan privat tetap terjaga. Kata tanya yang menyudutkan perlahan akan berubah menjadi semoga dan doa. Andai kata pertanyaan tetap ada, setidaknya yang menjawab tidak lagi merasa teraniaya.
***
*) Oleh: Galan Rezki Waskita, Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Malang bidang Kemahasiswaan dan Kepemudaan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |